Khutbatul Arsy: Ruh Perjuangan yang Ditiupkan Kembali

  • Reading Time: 5 mins
  • - view: 189

Laporan dari Pondok Modern Darul Falah Cimenteng Subang


Hari itu, Aula Gedung Makkah terasa berbeda. Udara siang masih terasa hangat, tapi suasananya hening, seolah seluruh ruang telah siap menyambut sesuatu yang sakral. Ratusan santri duduk bersila, rapi dalam diam. Wajah-wajah muda itu bukan sekadar hadir, tapi menanti. Bukan menanti sambutan biasa, melainkan pidato tahunan yang telah menjadi tradisi pondok—Khutbatul Arsy.

Usai Apel Tahunan pagi harinya, para santri dan guru kembali berkumpul untuk mendengarkan pidato pembukaan dari Ketua Dewan Pembina sekaligus Ketua Badan Wakaf Pondok Modern Darul Falah Cimenteng, Al-Ustadz H. Agus Maulana. Tapi bagi mereka yang pernah menyimaknya, mereka tahu: ini bukan sekadar pidato. Ini ruh tahunan pondok yang ditiupkan kembali ke dalam dada para pejuangnya.


Lebih dari Sekadar Pidato

“Siapkan penglihatanmu, pendengaranmu, dan hatimu…”
Kalimat itu meluncur dari podium dengan suara tenang namun dalam. Sebuah seruan yang sederhana, tapi penuh makna. Karena siapa pun yang hanya menghadirkan tubuhnya tanpa jiwanya, kata sang Ustadz, tak akan mendapatkan apa-apa dari pertemuan ini.

Dan memang demikianlah Khutbatul Arsy: sebuah momentum tahunan yang menggugah bukan hanya akal, tapi juga ruh. Ia bukan upacara. Ia pernyataan arah. Ia perkenalan yang memperdalam. Ia pondok yang sedang menegaskan kembali jati dirinya.


Khutbatul Arsy: Dari Tradisi, Lahir Kesadaran

Istilah Khutbatul Arsy berasal dari kata khutbah (pidato) dan arsy (singgasana). Secara simbolik, ia merupakan pidato dari pusat kepemimpinan pondok kepada seluruh elemen yang ada—guru, santri, dan staf. Tradisi ini telah lama hidup di Gontor, dan kini diwarisi di Darul Falah Cimenteng sebagai salah satu pondok modern yang mengakar pada nilai-nilai yang sama.

Tapi Khutbatul Arsy bukan sekadar meniru bentuk. Ia adalah jiwa yang dilestarikan, semangat yang diwariskan, nilai yang terus disuarakan—agar tidak hilang ditelan rutinitas dan kesibukan harian.


Panca Jiwa: Nilai yang Hidup dalam Diam

Di tengah pidatonya, Ustadz Agus menyampaikan kembali lima nilai dasar yang menjadi fondasi pondok: Panca Jiwa.

  1. Keikhlasan, sebagai pondasi amal yang tak terlihat, tapi terasa.
  2. Kesederhanaan, yang membentuk pribadi kuat tanpa bergantung pada fasilitas.
  3. Berdikari, yang menjauhkan dari mental menunggu bantuan orang lain.
  4. Ukhuwah Islamiyah, yang menyatukan santri dari berbagai latar dalam satu hati perjuangan.
  5. Kebebasan, dalam berpikir dan bersikap, namun tetap dalam bingkai adab dan tanggung jawab.

Nilai-nilai ini tidak dipajang di tembok. Tidak juga dijadikan slogan kosong. Tapi ia hidup dalam pola hidup harian pondok. Dalam cara guru mengajar. Dalam cara santri bersikap. Dalam cara pondok bergerak.


Panca Jangka: Membangun Masa Depan dengan Arah Jelas

Tak berhenti di nilai, Khutbatul Arsy juga mengangkat lima rencana besar pondok yang disebut Panca Jangka:

  • Pendidikan dan Pengajaran, meliputi berbagai aspek pendidikan dan pengajaran, baik di kelas maupun di dalam kehidupan santri selama 24 Jam.
  • Kaderisasi, agar cita-cita dan perjuangan pondok tak putus di satu generasi.
  • Pergedungan, membangun fasilitas secara bertahap, sesuai kebutuhan dan kemampuan.
  • Khizanatullah, yaitu kemandirian ekonomi pondok melalui unit usaha wakaf produktif.
  • Kesejahteraan Keluarga, karena guru dan seluruh keluarga pondok harus diperhatikan kesejahteraannya agar bisa berkhidmat dengan ikhlas dan optimal.

Lima jangka ini bukan ambisi kosong. Tapi penanda bahwa pondok tidak berjalan tanpa arah. Bahwa perjuangan ini disusun, ditata, dan dilandasi oleh kesadaran dan keikhlasan.


Motto Pondok: Urutan yang Tidak Boleh Terbalik

Santri Darul Falah tak asing dengan empat kalimat yang menjadi motto pondok:
Berbudi Tinggi, Berbadan Sehat, Berpengetahuan Luas, dan Berpikiran Bebas.

Tapi di Khutbatul Arsy, urutan ini ditegaskan kembali. Karena berbudi tinggi harus menjadi pondasi. Tanpa akhlak, ilmu bisa menyesatkan. Tanpa adab, kebebasan bisa menjerumuskan. Maka akhlak—budi pekerti yang tinggi—harus berdiri di depan. Ia yang memberi nilai bagi semua kelebihan lainnya.


Pondok ini Milik Umat, Bukan Milik Pasar

Salah satu bagian paling menyentuh dari pidato itu adalah ketika beliau menyinggung biaya masuk pondok. Bahwa Darul Falah memilih untuk tetap rendah hati, membangun sistem yang kuat meskipun dengan biaya terjangkau. Bukan karena kekurangan, tapi karena visi: pondok ini harus bisa dijangkau oleh sebanyak mungkin anak-anak bangsa.

Di luar sana, ada lembaga pendidikan yang mematok biaya ratusan juta. Tapi Darul Falah tetap berdiri dengan semangat wakaf, bukan semangat bisnis. Karena pondok ini bukan milik pribadi, tapi milik perjuangan.


Mengulang untuk Menanam, Berkali-kali untuk Menghidupkan

Khutbatul Arsy bukan sekali, tapi diulang setiap tahun. Bahkan bagi guru yang telah mengabdi belasan tahun. Karena nilai tidak cukup ditanam sekali. Harus ping sewu—seribu kali—agar betul-betul tumbuh dan menjadi karakter.

Pesan ini kembali ditegaskan: pondok bukan tempat mencari nafkah, tapi medan pengabdian. Tempat di mana amal, doa, dan perjuangan berpadu menjadi satu. Maka semua elemen pondok—dari kyai, guru, santri, hingga staf dan alumni—harus menghidupkan nilai itu bersama.


Penutup: Dari Podium, Menuju Hati yang Baru

Khutbatul Arsy di Darul Falah Cimenteng adalah cermin pondok itu sendiri. Di podium, bukan hanya suara yang terdengar. Tapi arah, semangat, harapan, dan cita-cita besar. Dan yang terpenting: pengingat bahwa pondok ini tidak boleh kehilangan jiwanya.

Dan ketika santri keluar dari aula siang itu, langit Cimenteng masih sama. Tapi mungkin hati mereka sudah tak lagi sama. Sebab satu ruh perjuangan telah ditiupkan kembali—dan semoga terus menyala, sepanjang hayat.

Artikel Pesantren Sebelumnya : PENAMPILAN ATRAKSI KREASI SANTRI DARUL FALAH CIMENTENG-SUBANG

Oleh: Tim Media Center

Pondok Modern Darul Falah Cimenteng.