Oleh : Mochlasin Sofyan
Hanyalah sepotong bambu hijau tanpa nama, sebagai penanda di pembaringan akhir K.H. Omi Qozimi. Komplek makam pondok menjadi simbol terakhir perjalanan dunia, di samping peristirahatan ibundanya. Keranda pembawa jenazah dari rumah duka, hanya terbuat dari rakitan bambu berwarna hijau juga. Itulah cerminan kesederhanaan hidup yang selama ini identik dan melekat kuat dalam perilaku diri dan keluarga. Sepertinya telah khatam mengimplementasikan dua nilai teratas dari Panca Jiwa Pondok Modern Gontor, yaitu keikhlasan dan kesederhanaan.
Kesederhanaan tidaklah selamanya identik dengan miskin harta maupun inovasi. Sosok Abah Omi, demikian panggilan mesra dari santri keluarga besar Pondok Modern Darunna’im, sebuah pesantren yang telah berdiri 26 tahun lalu. Pesantren duplikasi Gontor ini sedang menjadi perbincangan karena mampu membangun pondok yang visioner, inovatif, independen dan mandiri. Pesantren ini berlokasi di Kampung Cirende, Desa Kalanganyar Kecamatan Kalanganyar, Kabupaten Lebak, Provinsi Banten. Di bawah bendera Yayasan Pendidikan Islam (YPI) Darunna’im, telah berkembang program pendidikan Madrasah Ibtidaiyah, Tsanawiyah dan Aliyah dengan model Boarding School. Sejak 2016 telah berdiri pula perguruan tinggi bernama Sekolah Tinggi Pesantren Darunna’im (STPDN), sebuah kampus yang mengintegrasikan antara iman, ilmu dan amal.

Sebagai akademisi yang concern terhadap kajian etika dan etos kerja muslim, saya tertarik pada pola kemandirian ekonomi totalitas dalam mengelola pondok. Grand Design kemandirian ekonomi yang telah disiapkan dan on going, Abah Omi mengenalkan dengan istilah KID (Kawasan Industri Darunna’im). KID adalah konsep membangun kemandirian ekonomi pesantren dengan menggali seluruh potensi sumberdaya yang dimiliki dan menggerakkan seluruh stakeholder. Saat ini, pesantren mengelola usaha kurang lebih 50 unit. Dari 50 unit ini dapat dikelompokkan dalam tujuh bidang usaha besar yaitu mini market, cake&bakery, warung sembako, perternakan, wisata, smoll manufacture, investasi emas dan saham. Beragam usaha tersebut, dibangun atas dasar nilai ta’awun market bukan market kapitalistik. Di mana tujuannya untuk memfaslitasi kebutuhan masyarakat pesantren, sehingga segala kebutuhan dapat disediakan dengan harga terjangkau
Dalam mengembangkan ekonomi tersebut, tentu diperlukan modal yang tidak sedikit. Sementara Abah Omi, berprinsip tidak ingin menggunakan pinjaman bank. Dua ribu santri, ratusan mahasantri dan ratusan guru-karyawan, dipandang sebagai potensi untuk mendukung kemandirian ekonomi pondok menuju KID. Langkah pertama, Abah Omi melakukan identifikasi kategori finansial, yaitu uang jinak (uang SPP), uang liar (uang jajan santri dan segala belanja keperluannya serta gaji guru karyawan) dan uang super liar (uang keluarga guru dan wali santri). Untuk membangun ekosistem ekonomi internal dibuatlah mata uang lokal, yaitu Koin La Syakka atau KL Money. Santri dan guru tidak diperkenankan memegang cash money, semua harus belanja di pondok. Apabila barang tidak mungkin diperoleh di pondok atau untuk keperluan lainnya, disediakan money changer untuk menukar uang rupiah. Dari kita, untuk kita dan sejahtera bersama lahir batin inilah praktik ta’awun market.
Gagasan cerdas dan tindakan inovatif tersebut, sepertinya hanya bisa dilakukan oleh seorang enterpreneur sejati. Sedangkan Abah Omi, hanyalah santri alumni Gontor dan hanya mahasiswa pendidikan yang belum tamat. Namun sepak terjangnya telah memenuhi kriteria sebagai enterpreneur dalam definisi Zimmerer dan Scarborough (2005). Menurut mereka, enterpreneur dedefinisikan seseorang yang menciptakan usaha baru dengan keberanian mengambil risiko untuk mendapatkan keuntungan dengan melakukan identifikasi peluang dengan memobilisasi sumberdaya yang dimiliki. Tentu dapat dipastikan, pendidikan dan pengalaman menjalankan tugas tambahan mengelola kantin di Pondok Modern Gontor, telah banyak membentuk mental kewirausahaannya.
Dalam pandangan Asyarie (1997), etos kerja atau enterpreneurship dipengaruhi banyak faktor, salah satunya adalah spiritualitas. Hal itu selaras dengan teori Weber, bahwa kemunculan kapitalisme yang menggerakkan dunia industri dipicu oleh etika Protestan. Etik Protestan mengajarkan, bahwa kerja adalah panggilan Tuhan (calling) dan bentuk mencari keselamatan (salvation). Salvation adalah upaya menjadi pengembala atau hamba Tuhan terpilih melalui kerja keras. Dalam ajaran Islam, istilah calling semakna dengan kerja adalah ibadah pada Allah. Etika religius telah melahirkan etos kerja tinggi sebagaimana dipraktikkan Abah Omi.


Tausiyah untuk shalat tahajud dan dhuha yang disampaikan beberapa hari sebelum wafatnya, menjadi bukti tak terbantahkan betapa kokohnya konstruksi spiritulitas Abah Omi. Jiwa kewirausahaan beliau nampak jelas terbangun dari nilai spiritualitas, sehingga saya menyimpulkan Abah Omi sebagai model dari Spiritualpreneurship. Istilah ini saya perkenalkan pada 2021 dalam buku yang berjudul “Spiritualpreneurship: Millenial Enterpreneur di Era Society 5.0”. Kuatnya spiritualitas pula yang membentuk pribadi tidak ingin bergantung pada pihak lain. Berdikari yang merupakan Panca Jiwa Pondok Modern, benar-benar diamalkan dalam manajemen. Suatu hari, Abah Omi menolak pemberian bantuan dana CSR yang nilainya hampir 1 miliar. Tentu hal ini menjadi fenomena sangat langka, di saat banyak ormas yang antri ajukan proposal bantuan.
Spiritualpreneurship akan tumbuh subur dalam model pemahaman agama transformatik. Dalam pemetaan Anwar (1995), model pemahaman kegamaan muslim Indonesia terbagi dalam enam tipologi yaitu Formalistik , Substantivistik, Transformatik, Totalistik, Idealistik dan Realistik. Tipologi transformatik berangkat dari pemahaman bahwa misi utama Islam adalah kemanusiaan (rahmatan lil’alamin). Oleh karenanya, Islam harus menjadi kekuatan perubahan dalam masyarakat ke arah yang lebih baik dalam segala aspeknya. Al-Qur’an tidak cukup hanya dipahami sebagai guidance of life, tetapi juga dipahami sebagai living guidance atau petunjuk yang hidup lagi dinamis. Di ruang tafsir ini, Abah Omi mampu mentransformasi spirit agama dalam amal nyata ekonomi untuk kemaslahatan lembaga dan umat.
Sebagai enterpreneur merujuk pada definisi Zimmerer dan Scarborough, Abah Omi sebagai entepreneur berupaya membuat usaha bisnis baru untuk mendapatkan keuntungan. Hanya saja keuntungan tersebut bukan untuk dinikmati diri dan keluarga, tetapi tujuannya agar biaya yang dibebankan para santri terjangkau dan guru karyawan sejahtera. Diharapkan semakin banyak generasi muda Islam yang dapat mengenyam pendidikan di pondok ini.
Tipologi enterpreneurship unik inilah yang disebut dengan sociopreneurship. Istilah ini saya temukan dalam salah satu artikel dalam Journal of World Business (2006) dengan penulis Christian M dan Honing B. Sociopreneurship dimaknai sebuah proses dimana individu, startup, dan wirausahawan mengembangkan usaha bisnisnya dengan bertujuan untuk mendanai sebagai solusi dalam menangani masalah sosial yang terjadi. Dalam pandangan Abah Omi, masalah sosial yang terjadi saat ini adalah kualitas pendidikan dan penyiapan generasi unggul. Pondok Pesantren baginya adalah cara terbaik untuk untuk menyelesaikan sebagian masalah terutama di Banten. Lembaga pendidikan dengan biaya terjangkau, menjadi penting dihadirkan mengingat Banten sebagai provinsi termiskin kedelapan secara nasional.



Kiranya tepat dengan melihat inovasi dan tujuan sosial dalam bisnisnya, Abah Omi dikategorikan sebagai sociopreneur. Sementara dalam perspektif lain, kegiatan bisnisnya berangkat sejak hati yang didasarkan pada etika ilahi. Etika ilahi ini kemudian menghadirkan etos kerja tinggi dan inovatif. Jadilah dalam Abah Omi sebuah perpaduan unik antara motif spiritual dan sosial. Selanjutnya saya buat sebuah istilah baru yaitu spiritual-sociopreneur. Mungkin dalam buku tentang kewirausahaan dan jurnal belum dijumpai, barangkali bisa menjadi sebuah tipologi baru yang dapat dijadikan role model.
Selamat jalan Abah Omi Qozimi menuju keabadian-Nya, jejak hidup panjenengan penuh inspirasi yang mencerahkan.
Alumni Gontor 92 ( Country) dan Guru Besar UIN Salatiga dalam Bidang Ekonomi Islam