Gontor Meneguhkan Peradaban

  • Reading Time: 6 mins
  • - view: 96

Oleh Ust. Ahsan Jamet Hamidi ( Alumni Gontor 1987, Pengurus Pimpinan Pusat Muhammadiyah )

Saya menjadi santri di Pondok Gontor sejak 1981 hingga 1987. Selama 6 tahun melebur da- lam satu sistem pendidikan yang unik, berdisiplin ketat dan penuh keteraturan. Saya bersyukur bisa merasakan seluruh dinamika itu dengan tuntas.

Waktu 6 tahun adalah normal. Mulai dari kelas I hingga kelas VI. Setara dengan kelas 1 SMP hing- ga 3 SMA. Ada yang mampu menempuhnya lebih pendek yaitu 4 tahun. Tapi ada yang menjalaninya hingga 11 tahun. Karena di setiap tingkat harus di- tempuh selama dua tahun. Hanya pada kelas akhir saja ia jalani satu tahun.

Tiga bulan pertama menjadi santri, adalah peri- ode yang cukup menantang. Ringan beratnya ter- gantung yang menjalani. Bagi saya, sedang-sedang saja. Hal yang sama juga dialami oleh ratusan santri lain. Karena rintangan itu dilalui secara berjamaah, maka semua menjadi terasa lebih ringan. Banyak kisah lucu yang dialami setiap santri hingga mem- buat mereka bisa bertahan.

Menaklukkan Tantangan

Ketika saya berada pada puncak kejenuhan dan tekanan karena harus melawan budaya baru di Pondok, tiba-tiba saya melihat sebuah pertunju- kan Teater Islam Daarussalam di Aula Utama. Ada puluhan santri kakak kelas sedang bermain teater. Mereka berpakaian lucu lucu. Ada yang bergaya petani, bergaya pengusaha borjuis, hingga ber- dandan mirip kompeni Belanda. Satu orang berga- ya mahasiswa. Dia berdiri tegak di depan, sambil membaca Puisi Rendra yang berjudul:

”Sajak Pertemuan Mahasiswa”
Sekarang matahari, semakin tinggi.
Lalu akan bertahta juga di atas puncak kepala.
Dan di dalam udara yang panas kita juga bertanya : Kita ini dididik untuk memihak yang mana ? Ilmu-ilmu yang diajarkan di sini
akan menjadi alat pembebasan,
ataukah alat penindasan ?

Kalimat itu terpatri di dalam batin saya. Ia se- perti tertulis di atas batu. Bait puisi itu dibaca entah oleh siapa saat itu. Seorang santri berbadan tinggi kurus, pertanda kurang makan. Suaranya lantang,

mulutnya terbuka lebar, bibir bergerak lincah, air ludahnya muncrat membasahi kertas yang dipegang- nya. Totalitas gerakan dan getaran suarannya mam- pu menggerakkan batin saya, hingga tergugah, terasa hangat seperti hendak bangkit, seolah siap melawan tantangan.

Usai pertunjukan, saya memberanikan diri ke belakang panggung. Berkenalan dengan Ustadz M. Ma’ruf (Semarang). Saya menyatakan diri ingin ber- gabung dengan Komunitas Teater di Gontor. Ternya- ta, pada ruang itulah eksistensi batin dan raga saya bersemayam. Setiap latihan teater, saya lupa dengan segala masalah yang bisa memicu tekanan dan ke- bosanan. Semua menjadi terasa membahagiakan.

Saat itu, setiap kegiatan di Gontor adalah pang- gung pertunjukan. Dalam acara muhazoroh (latihan pidato) seminggu bisa beberapa kali. Acara pramu- ka setiap hari Kamis. Pertemuan umum setelah olah raga pagi di hari Jumat pagi, dan berbagai pertunju- kan lain yang kerap sekali diadakan setiap pekan. Itu adalah wahana yang sangat membahagiakan. Itulah dunia baru saya.

Umumnya, para santri tamatan Pondok Gontor akan memiliki pemahaman ilmu agama dan ke- mampuan bahasa Arab yang baik. Sayangnya, stan- dar itu tidak terjadi dalam pengalaman hidup saya. Dunia kesenian, terutama seni pertunjukan, menja- di impian yang terus hidup subur dan menggelora di dalam batin saya setelah tamat dari Pondok.

Mungkin, itu adalah salah satu ciri dari moder- nitas sistem pendidikan di Gontor. Pendidikan dan pengajaran yang lebih diorientasikan pada pem- bangunan fisik dan mental santri yang tangguh. Harapannya, mereka bisa tumbuh menjadi manusia yang mandiri, berakhlak baik, jujur dan bertang- gungjawab. Setelah matang, mereka bebas menapaki jalan yang ingin ditempuh. Bebas terbang setinggi langit, menyibak awan, menerabas hutan.

Ciri Modern

Pondok Gontor berdiri sejak 1926. Sejak dulu, ia sudah memplokamirkan eksistensinya dengan kata “Modern”. Apa spirit yang terkandung dibalik kata modern itu? Apa yang membedakannya dengan ribuan pondok lain di Indonesia? Selama 6 tahun

saya belajar tentang ”modernitas” Gontor, hingga sekarang saya belum juga khatam.

Saya terus merenung, berusaha mengingat, mengulanginya berkali kali, hingga berani menu- liskannya dalam versi sederhana. Saya memilih untuk menggali perkara yang sangat sederhana yang terpraktikkan dalam kehdidupan sehari hari. Mengapa? karena hasil dan pertandanya bisa dilihat langsung secara kasat mata oleh siapa saja.

Pertama, penghargaan terhadap waktu. Praktik ini paling mengesankan. Ajaran ini bukan hanya menjadi jargon yang dihapalkan oleh seluruh santri, tetapi telah dipraktikkan dengan sangat baik. Mulai dari kiai, direktur, guru dan seluruh santri, bahkan para karyawan yang bekerja di lingkungan Pondok. Semua terikat oleh disiplin waktu.

Contoh, salah satu prinsip yang menjadi ha- palan di kepala para santri, yaitu ”Waktu itu seperti pedang, jika kau tidak memotongnya maka dia akan memotongmu”. Hapalan ini benar-benar termani- festasi dalam keseharian.

Kedua, kedisiplinan. Saya selalu kagum dengan praktik kedisiplinan di Gontor. Contoh sederhana, yang (saat itu) hampir pasti terjadi di semua sekolah di Indonesia. Ruang kelas kosong, murid-murid ber- henti belajar, hanya karena guru berhalangan hadir. Selama 6 tahun di Gontor, saya belum pernah me- ngalami kelas saya kosong, karena guru terlambat masuk atau memiliki hambatan (meski) mendadak.

Padahal, para guru juga pasti pernah mengalami hambatan. Bisa tiba-tiba sakit, atau sepeda ontel- nya bermasalah. Ketika itu terjadi, dalam hitungan menit, guru pengganti siap menjalankan tugas pe- ngajaran. Padahal saat itu belum ada CCTV, kompu- ter berbasis internet. Satu-satunya alat komunikasi adalah alat telpon berbasis kabel antar ruang guru dan pengasuhan.

Prinsip kejujuran dan kedisiplinan itu juga tercermin pada sistem pengelolaan keuangan di semua bagian. Mulai dari Kantin, Koperasi Santri, Kegiatan Organisasi Santri, Dapur yang menye- diakanmakanandanminumanuntuksantri,pem- bangunan ruang kelas dan asrama santri. Setahu saya, semua terkelola dengan sangat baik oleh para pihak yang dimandatkan untuk itu. Hal yang paling mengesankan adalah, para anak cucu pendiri pon- dok, para Kiai, tidak ada yang ikut cawe-cawe.

Ketiga, praktik yang setara dan egaliter. Keti- ka sekolah di Gontor, saya masih sempat bertemu selama beberapa tahun dengan Kiai Zarkasyi. Bah- kan, saya makan di Dapur yang dikelola oleh Ibu Zarkasyi. Dalam beberapa kesempatan, saya pernah bertemu dengan Putra Putri Beliau saat kumpul keluarga. Bahkan saya diajar langsung oleh Ustadz Syukri Zarkasyi, Ustadz Hidayatullah Zarkasyi, Ustadz Imam Subakir. Juga putra Kiai Sahal, yaitu; Ustadz Hasan Abdullah Sahal, Ustadz Tauhid. Mere- ka sangat egaliter. Penghormatan para santri kepada para Putra-Putri Kiai sebatas pada hubungan kema- nusiaan.

Ciri terakhir dari modernitas Gontor adalah pemantapan pada prinsip ketauhidan. Dulu, para guru dan pengurus OPPM (Organisasi Pelajar Pon- dok Modern) sering melakukan operasi lemari. De- ngan seizin pemilik, lemari pakaian para santri di- buka satu persatu. Jika ditemukan jimat atau benda apapun yang diyakini sebagai medium untuk ajian atau kekebalan raga, akan langsung diambil dimus- nahkan.

Nilai Unversal

Di tengah arus pasca modernisasi yang terus melaju, Gontor tetap teguh bergerak dengan prinsip yang diyakini. Ada lima prinsip yang tetap dianut kuat. Ia disebut dengan Panca Jiwa, alias lima nilai yang mendasari kehidupan Pondok Modern Gontor: keikhlasan, kesederhanaan, berdikari, ukhuwah Is- lamiyah, dan bebas.

Pengalaman selama 6 tahun belajar di Gontor meyakinkan saya, bahwa pondok tersebut telah meneguhkan peradaban universal yang melam- paui perbedaan suku, warna kulit, bangsa bahkan agama. Jika saya ditanya tentang apa yang harus tetap dipertahankan di Pondok Gontor? Maka saya akan menjawab dengan cepat. Kemerdekaan Ber- pikir dan Berkesenian adalah hal penting untuk dipertahankan. Ia bisa terus menyertai pilar pen- ting lainnya.

Di Tengah ancaman keterbelahan warga karena perbedaan kepentingan dalam konteks politik di Indonesia, prinsip “Gontor Berdiri di Atas dan Un- tuk Semua Golongan”, akan semakin menemukan relevansinya.

Yang mendasari kehidupan Pondok Mo­ dernGontor: keikhlasan, keseder­ hanaan, berdikari, ukhuwah Is­ lamiyah, dan bebas.