Sengaja saya memilih untuk shalat Shubuh di Masjid Pusaka atau Atiq ketika berkunjung ke Gontor. Ingin merasakan aura spiritual yang masih mengalir dari para pendiri pesantren ini. Saya memang tidak sempat mengalami langsung masa Trimurti—KH Ahmad Sahal, KH Zainuddin Fananie, maupun KH Imam Zarkasyi—tetapi jejak perjuangan mereka tetap terasa begitu nyata.
Saat pertama kali menginjakkan kaki di Gontor pada tahun 1988, pesantren ini telah dipimpin oleh generasi kedua Trimurti: KH Abdullah Syukri Zarkasyi (Alm), KH Hasan Abdullah Sahal, dan KH Shoiman Luqmanul Hakim (Alm). Nilai-nilai kehidupan dan perjuangan para pendiri Gontor diwariskan dengan baik melalui para murid mereka, salah satunya Ustadz Syarif Abadi.
Selepas shalat Shubuh di Masjid Pusaka, saya sering berkesempatan menyerap hikmah dan pelajaran kehidupan dari beliau. Ustadz Syarif Abadi merupakan saksi hidup perjalanan Gontor dari masa ke masa. Beliau memang rutin berjamaah di masjid ini—kadang mengimami, tetapi lebih sering mempersilakan para ustadz muda untuk mengambil peran itu. Saat-saat setelah Shubuh itulah yang menjadi momen berharga bagi saya untuk menggali kisah dan nilai perjuangan Gontor dari sosoknya yang sederhana namun penuh kebijaksanaan.
Kini, beliau telah tiada. Senin, 4 Sya’ban 1446 H atau 3 Februari 2025, pukul 15.30, di RSUD Harjono Ponorogo, beliau menghembuskan nafas terakhirnya. Sebelumnya, beliau sempat dirawat akibat kecelakaan motor di Joresan. Kepergian beliau meninggalkan duka mendalam bagi keluarga besar Gontor dan para alumninya. Kita semua kehilangan sosok guru, murabbi, yang telah menghidupkan nilai-nilai Panca Jiwa Gontor dengan tindakan nyata, bukan sekadar ajaran di dalam kelas.
Kesederhanaan dan Keikhlasan
Salah satu kesan paling mendalam yang diungkapkan oleh para alumni tentang Ustadz Syarif Abadi yaitu kesederhanaan dan keikhlasannya. Bukan sekadar kata-kata, bukan sekadar teori yang diajarkan, tetapi betul-betul melekat dalam kehidupannya sehari-hari. Sekalipun seorang guru senior, tidak pernah tampak sedikit pun rasa jumawa atau merasa diri lebih.
Dalam keseharian, beliau menjalani hidup apa adanya. Bahkan, dalam berbagai kesempatan, beliau kerap mengatakan bahwa kalaupun dirinya dihormati, disegani, dan dipatuhi, itu semata-mata karena “dipinjami haibah”—wibawa yang datang dari Gontor. Ungkapan ini bukan hanya menunjukkan rendah hatinya, tetapi juga mencerminkan betapa dalamnya keikhlasan yang beliau miliki.
Setelah kabar kepergiannya tersebar, saya melihat begitu banyak alumni yang mengenang dan menuliskan kisah-kisah mereka bersama beliau. Ini menunjukkan betapa istimewa tempat yang beliau miliki di hati banyak orang. Keberkahan hidupnya tidak diukur dari apa yang beliau kumpulkan, tetapi dari cinta dan penghormatan yang mengalir deras dari mereka yang pernah bertemu dan belajar darinya.
Selamat jalan, guru kehidupan. Engkau telah menuntaskan tugas duniamu dengan penuh kesan dan hikmah. Kini engkau melangkah ke alam keabadian dengan penuh kehormatan dan kebahagiaan hakiki. Semoga Allah menerima seluruh amal baktimu dan menempatkanmu di tempat terbaik di sisi-Nya.
Selamat jalan, Ustadz Syarif Abadi. Kami akan terus mengenang dan meneruskan teladan yang engkau tinggalkan.