Wakaf merupakan ibadah Maliyah (harta kekayaan) yang erat kaitannya dengan pembangunan kesejahteraan umat. Selain itu wakaf juga merupakan ibadah yang bercorak sosial ekonomi. Dalam sejarah, wakaf sangat memiliki peran yang besar dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat dalam berbagai bidang, terutama ekonomi dan pendidikan.
Pada sebuah kesempatan Prof. Hamid Fahmy Zarkasyi, rektor UNIDA Gontor, memaparkan bahwa dalam rangka pengembangan dan kemajuan pondok di masa yang akan datang, pendiri Pondok Modern Darussalam Gontor memiliki 3 gagasan. Pertama, pondok pesantren harus memiliki khazanah atau perbendaharaan agar bisa mandiri dalam finansial. Kedua, pondok pesantren harus memiliki sistem kepemimpinan yang solid dan kuat; kyai yang berwibawa dan disegani. Ketiga, di masa yang akan datang pondok pesantren harus berbentuk wakaf. Gagasan ini tampaknya muncul dari pengamatan terhadap sejumlah pesantren dan Lembaga Pendidikan ternama di luar negeri.
Ketika Gontor menjadikan universitas Al Azhar Kairo Mesir sebagai salah satu sintesanya,keunggulan dan keutamaan yang inginkan adalah dinamika perwakafan universitas tersebut. Dengan wakafnya yang banyak dan beragam Al Azhar mampu bertahan hingga 1000 tahun dan telah memberi beasiswa kepada lebih dari 500 ribu mahasiswa dari seluruh belahan dunia.
Selain itu fenomena pondok pesantren sebagai Lembaga Pendidikan milik kyai yang diwariskan kepada anak keturunannya, yang kemudian sering menjadi rebutan ahli waris, atau, kalau tidak, ketika kyainya wafat pondoknya pun ikut mati, juga menjadi pertimbangan mengapa pendiri Pondok Modern Darusssalam Gontor mengambil jalur wakaf dalam memikirkan keberlanjutan pondoknya. Dalam pandangan beliau, pondok sebagai sebuah Lembaga Pendidikan Islam harus terus dan tetap eksis. Maka amanah kepemilikannya tidak boleh hanya terbatas pada garis keturunan, melainkan harus diperluas sehingga menjadi milik umat. Disinilah beliau kemudian mencanangkan agenda kaderisasi sebagai salah satu jangka atau langkah yang harus ditempuh oleh pondok guna memikirkan masa depannya.
PONDOK PESANTREN DAN PONDOK MODERN GONTOR
Istilah pondok pesantren terdiri dari dua kata; pondok dan pesantren. Kata pondok berasal dari bahasa Arab funduq yang berarti penginapan. Bisa juga berarti kamar atau rumah kecil. Sehingga ketika digunakan sebagai kata kerja (‘mondok’) kata tersebut mengindikasikan menginap atau bertempat tinggal di tempat yang sederhana. Sementara itu kata pesantren berasal dari kata santri, dengan imbuhan pe dan an (pesantrian) yang berarti tempat para murid berguru kepada seorang guru; tempat para santri mencari ilmu dari seorang kyai.
Dalam persprektif sejarah perkembangannya pesantren adalah wujud keterpang-gilan seorang alim (kyai) untuk mengajarkan ilmunya kepada mereka yang datang dengan maksud berguru atau menuntut ilmu. Maka ditampunglah mereka yang datang di tempat yang ada, sampai akhirnya tempat itu tidak mencukupi, dan para santri itu membangun tempat tinggalnya (asramanya) sendiri. Dengan begitu pondok pesantren dapat definisikan sebagai sebuah Lembaga Pendidikan Islam yang bersistem asrama, kyai sebagai pengajar, pendidik, dan pengasuh, santri sebagai murid atau anak didik.
Seiring dengan perkembangan masyarakat, pondok pesantren sebagai Lembaga Pendidikan asli (indigenous) Indonesia yang tumbuh dan berkembang dalam bingkai budaya dan peradaban Indonesia juga mengalami perkembangan. Dari yang sebelumnya sangat tradisional, baik sistem, kurikulum, maupun menejemen pendidikannya sampai kemudian berkembang menjadi modern. Perkembangan ini berakibat pada terjadinya klasifikasi pondok pesantren salafiyah (tradisional) dan kholafiyah (modern).
Pondok pesantren salafiyah adalah pondok pesantren yang menyelenggarakan pendidikan dan pengajaran dengan pendekatan tradisional. Proses pembelajaran atau kegiatan belajar-mengajarnya dilakukan secara individu ataupun kelompok, dengan konsentrasi pada kitab klasik berbahasa Arab. Metode pengajaran yang diterapkan adalah metode sorogan dan wetonan. Adapun pondok pesantren khalafiyah (modern) adalah pondok pesantren yang menerapkan sistem klasikal dengan memberikan ilmu umum (sciences) dan ilmu agama (Islamic Studies), serta memberikan pendidikan keterampilan. Metode pembelajaran pada pesantren khalafiyah dilakukan secara berjenjang dan berkesinambungan dengan program yang didasarkan pada satuan pendidikan. Berbicara dan membahas tentang pondok pesantren modern, tidak berlebihan jika disebutkan bahwa Gontor adalah pelopornya.
Pondok Modern Darussalam Gontor (PMDG) memiliki akar sejarah yang berbeda dengan kebanyakan pondok pesantren. Keterpanggilan para pendiri Gontor untuk mendirikan sebuah lembaga pendidikan Islam berawal dari keprihatinan terhadap mutu dan kualitas sumber daya manusia umat Islam pada saat itu. Yaitu ketika dalam muktamar umat Islam di Surabaya (1925) tidak ada orang Indonesia yang dapat menjadi delegasi untuk mengikuti muktamar Islam sedunia di Mekah. Ketika itu pemuda Ahmad Sahal hadir dalam muktamar tersebut. Mendapati kondisi umat seperti itu alam pikiran dan jiwa Ahmad Sahal menerawang jauh ke depan… Bercita-cita memiliki lembaga pendidikan yang mampu melahirkan generasi muda yang berpengetahuan luas; mampu berbahasa internasional.
Sebagai sistem pendidikan Islam asli Indonesia pondok pesantren menjadi pilihan Ahmad Sahal guna mewujudkan cita-citanya. Langkah tersebut diawali dengan mendirikan lembaga pendidikan yang bernama Tarbiyatul Atfal (TA), sebagai lembaga pendidikan formal di lingkungan pesantren. Seiring dengan berjalannya waktu Gontor terus berkembang menjadi sebuah pondok pesantren dengan lembaga pendidikan bersistem mu’allimin. Ahmad Sahal dibantu dan didukung penuh oleh kedua saudaranya; Zaenuddin Fannani dan Imam Zarkasyi. Ketiga beliau itu kemudian dikenal dengan sebutan Trimurti; pendiri Pondok Modern Darussalam Gontor.
Sisitem pendidikan pondok pesantren menjadi pilihan Trimurti karena ajaran dan jiwa yang terkandung di dalamnya. Ajaran utama dalam pendidikan pondok pesantren adalah didikan tentang berdikari (الاعتماد على النفس), dalam Bahasa Belanda Zelp Help; tidak menggantungkan diri kepada orang lain. Dinamika kehidupan di dalam pondok dipenuhi dengan ajaran ini. Santri dilatih mengurus dirinya sendiri, mengatur keuangannya sendiri, almarinya, pakaiannya, dan keperluannya sendiri.
Adapun tujuan didirikannya Pondok Modern Darussalam Gontor, selain yang telah disinyalir di atas, adalah untuk mencapai kesejahteraan hidup umat; lahir dan batin, dunia dan akhirat. Oleh karenanya maka niat pokoknya adalah beribadah, berjuang, berbuat sambil berdo’a. Keberadaan 4 sintesa (Universitas Al Azhar, Mesir, Universitas Muslim Aligarh, India, Perguruan Islam Syanggit, Mauritania, dan Perguruan Santiniketan, India) adalah dimaksudkan mengantar dan mengawal Gontor menuju apa yang dicita-citakan dan diharapkan guna mencapai tujuannya.
Untuk itu, langkah kongkrit yang diambil adalah mencanangkan Panca Jangka dan kemudian merealisasikannya. Kelima Panca Jangka yang dimaksud adalah: Pendidikan dan Pengajaran, Pembentukan Kader-Kader, Pembangunan Gedung-Gedung, Pembentukan Khizanatullah (Perluasan Wakaf), dan Kesejahteraan Keluarga Pondok. Semua jangka tersebut direalisasikan secara simultan dan diupayakan secara serius; berusaha dengan sepenuh tenaga, mencurahkan segenap pikiran, dan memusatkan segenap kekuatan.
KADERISASI DAN GERAKAN WAKAF
Pasang surut kemajuan sebuah bangsa, maju mundur sebuah organisasi atau perusahaan adalah sebuah keniscayaan dalam kehidupan. Begitu pula halnya dengan keberadaan pondok pesantren; tumbuh dan berkembang, maju dan mundur, bahkan mati dan hidup. Semuanya adalah peristiwa nyata dan benar-benar terjadi. Dan semuanya, sudah barang tentu, memberikan pelajaran berharga kepada kita, yang harus kita petik.
Untuk keberlanjutan Pondok Modern Darussalam Gontor para pendiri berusaha mengantisipasi hal tersebut dengan mencanangkan jangka Pembentukan Kader-Kader atau kaderisasi dalam Panca Jangka Pondok. Oleh karena itu pimpinan Pondok sangat memperhatikan kepada para guru, khususnya yang memiliki keterpanggilan untuk turut berjuang di pondok dengan mengembangkan potensi mereka. Ada yang diberi tugas-tugas operasional di berbagai sektor dan ada pula yang diberi kesempatan untuk melanjutkan belajar ke jenjang yang lebih tinggi, baik di dalam maupun luar negeri.
Membentuk kader bukan perkara yang mudah. Apalagi kaderisasi untuk organisasi non-profit; kaderisasi untuk gerakan sosial kemasyarakatan. Begitu pula halnya dengan kaderisasi di lembaga da’wah ataupun lembaga pendidikan. Hanya mereka yang memiliki keterpanggilan untuk berjuang dan berkorban lah yang kemudian berani menyatakan diri sebagai seorang kader. Proses kaderisasi para kader Pondok Modern Gontor, meskipun berbeda antara yang satu dengan yang lain, pada umumnya diawali dengan berbagai macam penugasan. Selanjutnya jika dirasa sudah saatnya dan dipandang sudah layak untuk berikrar maka dilakukan proses ikrar kader.
Perkembangan Pondok Modern Darussalam Gontor yang pada saat ini memiliki 12 kampus putra dan 8 kampus putri, serta 4 kampus Unida Putra dan 3 kampus Unida putri menuntut banyaknya jumlah kader. Lebih dari itu guna mewariskan nilai-nilai pondok secara lebih meluas maka kaderisasi tidak hanya bersifat internal melainkan juga eksternal. Internal berarti kader yang dengan tegas mengikrarkan diri siap meneruskan perjuangan dan cita-cita Trimurti di kampus-kampus Pondok Modern Darussalam Gontor, dan kader yang tidak akan mengadakan ikatan kerja dengan pihak manapun kecuali Pondok Modern Darussalam Gontor. Mereka inilah yang dikenal dengan orang-orang yang mewakafkan dirinya untuk pondok. Adapun kader eksternal adalah kader yang mendapatkan fasilitas dari pondok dalam proses kelanjutan studinya, atau kader yang secara personal ditarik oleh pondok guna melaksanakan tugas-tugas pondok.
Dengan adanya jangka kaderisasi ini besar harapan para pendiri pondok akan keberlanjutan dan keberlangsungan hidup pondok. Para kader itulah yang bertanggung jawab langsung atas nilai-nilai dan ajaran-ajaran pondok. Mereka itulah yang akan mengawal Pondok Modern Darussalam Gontor sebagai pondok wakaf, yang menjadi jariyah bagi pendiri dan wakifnya, dan tempat beramal dan berjuang bagi para kader dan penerusnya.
Berbicara mengenai pondok wakaf, Gontor adalah pelopornya. Pendiri Pondok Modern Darussalam Gontor; K.H. Ahmad Sahal, K.H. Zainuddin Fannani, dan K.H. Imam Zarkasyi adalah tokoh sentral dalam gerakan wakaf harta benda yang berupa pondok pesantren. Dalam catatan sejarah perkembangan pondok pesantren tidak ada pondok pesantren yang diwakafkan oleh pendirinya; oleh kyainya mendahului Gontor.
Pendiri Pondok Modern Darussalam Gontor sudah barang tentu tidak serta merta mewakafkan pondok sejak awal berdirinya. Beliau berikhtiar dan berijtihad mengambil langkah wakaf itu melalui proses panjang. Peristiwa runtuh dan hancurnya sejumlah pondok pesantren pada masa itu, dan matinya sejumlah pondok pesantren beberapa tahun setelah ditinggal mati kyainya adalah kenyataan pahit yang paling beliau takuti. Sampai-sampai Kyai Sahal berucap; “Lebih baik saya mati lebih dahulu dari pada harus melihat bangkai pondokku”. Sementara itu, melihat universitas Al Azhar Mesir yang usianya mencapai1000 tahun dan mampu memberi beasiswa kepada ribuan mahasiswanya karena gerakan wakafnya, maka muncullah gagasan wakaf dalam diri beliau.
Sebenarnya ikrar wakaf Trimurti itu sudah sejak lama, yaitu sebelum perayaan seperempat abad Pondok pada tahun 1951. Namun karena pada saat itu belum dibuatkan piagam ikrarnya maka dianggap belum sah. Ibarat orang jual beli, belum ada kwitansinya. Barulah pada tahun 1958, tepatnya pada tanggal 12 Oktober 1958 atau 13 Rabi’ul Awwal 1378 piagam ikrar wakaf itu benar-benar diwujudkan.
Sejak saat itu, dengan problematika dan dinamikanya Pondok Modern Darussalam Gontor berkembang dengan cepat. Pada tahun 1963, tepatnya tanggal 17 Nopember berdiri Perguruan Tinggi Darussalam (PTD) yang pada tahun 1971 menjadi IPD. Perkembangan Gontor tampak semakin cepat beberapa tahun setalah memasuki masa generasi kedua (1985). Hal itu ditandai dengan dibukanya kampus pesantren putri di Mantingan, Ngawi (1990), dan kampus-kampus cabang putra; Darul Muttaqin Kaligung, Banyuwangi (1990), dan Darul Ma’rifat, Nggurah Kediri (1993). Disamping itu, perkembangan pondok juga ditandai dengan berdirinya sejumlah unit usaha, sebagai wujud dan realisasi wakaf pondok.
Pada saat ini Gontor memiliki 12 kampus putra dan 8 kampus putri, dengan jumlah santri; putra 11.735 orang, dan putri 11.065 orang. Total 22.800 orang. Sedangkan Unida Gontor memiliki mahasiswa dan mahasiswi sebanyak 3251 orang, dengan perincian 1476 mahasiswa dan 1775 mahasiswi. Adapun unit usaha yang dimiliki Gontor pada saat ini berjumlah tidak kurang dari 32 unit usaha. Mulai dari UKK (unit Kesejahteraan Keluarga, 1985), Toko Bahan Bangunan ( 1988), Apotik (1991), POM Bensin (2019), sampai bengkel (GAS; Gontor Aouto Servis, 2022).
PENUTUP
Untuk menjamin keberlangsungan sebuah Pondok Pesantren keberadaan kader sebagai generasi penerus adalah sebuah keharusan historis, dan ideologis tentunya. Sebab merekalah yang diharapkan mampu mewarisi nilai-nilai dan ajaran-ajaran Pondok. Disamping itu keberadaan khizanatullah; harta wakaf produktif yang dikembangkan dalam berbagai bentuk unit usaha juga sangat diperlukan guna mendukung keberlanjutan hidup pondok dan kemandirian pondok.
Semoga Allah swt selalu mencurahkan taufiq dan hidayahnya kepada keluarga besar Pondok Modern Darussalam Gontor, sehingga semua yang diupayakan pondok benar-benar muwaffaq. Amin…